LTSI Arca7

 Arca7

Reva tersenyum dari layar ponselku. Ia senang membicarakan tentang Fadly pacarnya dari Fakultas Hukum. Mereka baru jadian satu minggu lalu. Jika aku mendengar setiap cerita Reva, aku selalu ikut bahagia mengingat ia juga bahagia. Fadly benar-benar menjaganya dengan baik. Ia bahkan berniat akan melamar Reva setelah lulus kuliah nanti. 


"Oh ya Za, Fadly bilang sesuatu loh tentang lo. " Ucap Reva sambil membenarkan posisi rebahannya. 


Aku mengerutkan dahi sambil sibuk mengunyah camilan. "Bilang apa? " Tanyaku penasaran. 


"Katanya gosip soal lo udah nyebar di kampus. Anak Fakultas Hukum juga udah pada tau soal ini. Tapi lo kok nggak pernah cerita si ke gue? " Ucap Reva membuatku terkelu seketika. 


Aku terdiam. Ini pasti soal lamaran Pak Ammar padaku. Aku bingung sejujurnya. Siapa orang yang menyebarkan berita ini. 


"Berarti benerkan dugaan gue? Pak Ammar beneran suka sama lo. Lagian lo juga si nutup-nutupin terus kenyataan. " Lanjut Reva. 


"Aku bingung Re. " Ucapku. 


"Bingung kenapa? " 


"Aku bingung, soal perasaan aku."


"Soal Devan? " Tanya Reva yang telah mengerti kemana arah pembicaraanku. 


"Za, menurut gue, lo sebaiknya pertimbangin baik-baik. Pak Ammar bukan orang sembarangan loh Za. Menurut gue sih, dia udah paket komplit, ganteng iya, mapan iya, dewasa iya, agamanya juga oke. Kalo dibandingin sama cowok yang lo taksir sejak Mts. itu si keknya mendingan Pak Ammar deh. Lagian sekarang tu cowok juga nggak jelaskan dimana keberadaannya? "


Aku menghela napas gusar. "Justru itu masalahnya Re. Aku kemarin udah hampir aja berpikir kalau Pak Ammar itu jodohku. Aku udah mau nerima dia. Tapi entah kenapa tiba-tiba di hari ketujuh istikharah, aku malah ketemu lagi sama Devan. " Ucapku. 


Reva terlihat antusias mendengar ceritaku. "Serius? Lo ketemu dimana? Dia gimana sekarang? " Tanya Reva. 


Aku terdiam sejenak. "Aku ketemu di warung pinggir jalan di deket bengkel jalan Merdeka. Yang jadi masalah, Devan sekarang keliatan beda.  Di juga nggak kenal sama aku. Dia keliatannya sama sekali nggak tau aku siapa. Dan kamu tau? Dia sekarang ngerokok dan tampilannya juga kaya berandalan. " 


"Wah kalo gitu sih, mending Pak Ammar aja. Mungkin itu emang jawaban dari Allah Za. Allah negur lo dan ngasi tau lo siapa yang lebih baik" Ucap Reva membela Pak Ammar.


"Iya sih Re, awalnya aku juga berpikir kek gitu. Tapi kemarin tiba-tiba aku tau sesuatu baru tentang Devan. Kamu tau Devan siapa? " 


Reva membenarkan posisi ponselnya. "Siapa Za? " Tanya Reva. 


"Dia sepupunya Fakhran! " Ucapku. 

Reva yang tengah memakan kripik seketika tersedak. 


"Kamu pasti nggak percaya ya? " Tanyaku. 


"Jadi selama ini orang yang lo cinta mati-matian, orang yang lo cari-cari itu sepupunya si Fakhran? " Tanya Reva tak percaya. 


Aku mengangguk. " Dan kamu tau Re? Aku kemarin juga ketemu sama adiknya. Dia cantik banget, baik, ramah juga, malahan sekarang aku udah tukeran nomor sama adiknya Devan. " 


Reva terlihat seperti orang yang sedang berpikir. "Rumit juga sih menurut gue. Kenapa ya tiba-tiba lo diketemuin sama Devan ketika Pak Ammar ngelamar lo? Seolah lo itu nggak boleh jatuh cinta sama cowok lain. Terus ketika lo mulai berpikir untuk melupakan dia dan memilih orang lain, tiba-tiba Allah bikin suatu kejadian yang menurut gue malah bikin lo makin susah lupain dia. " 


Aku cemberut mendengar ucapan Reva. "Itu yang jadi pikiran aku belakangan ini. Aku juga nggak enak biarin Pak Ammar nunggu lebih lama. Aku nggak mau nyakitin hati dia. Aku sayang sama dia meskipun konteksnya berbeda. Dan sekarang aku bingung harus gimana. "


"Hmm.. Gue juga bingung si Za. " Reva membenarkan posisinya . "Mungkin lo lanjut istikharah lagi Za. Itu lebih baik. Atau.. " Reva berpikir senejak. "Gimana kalo lo coba tanyain ke Fakhran atau adeknya soal Devan. Kira-kira Devan sekarang udah punya cewek atau belom. Kalau udah, ya menurut gue si lo mending nyerah aja sama perasaan lo. Lo mending Terima Pak Ammar dan mulai belajar cinta sama dia. " Saran Reva. 


Aku berpikir. Mungkin memang lebih baik seperti itu. Kalau sekarang Devan sudah memiliki orang lain di hatinya, menurutku, untuk apa lagi aku mempertahankan perasaan untuknya. 


"Lo harus berpikir tentang diri lo juga loh Za. Lo pantes dicintai, bukan cuma mencintai. Lo pantes dapet kasih sayang dari orang yang serius mencintai dan sayang sama lo. " Lanjut Reva meyakinkanku. 


Mungkin memang benar, ini adalah waktu yang tepat untukku bangkit. Waktunya aku memikirkan kebahagiaanku sendiri. Aku akan serius mempertimbangkan Pak Ammar sebagai pasanganku.


Tiba-tiba, seseorang mengetuk pintu kamarku. 


"Adza, buka nak, ada tamu. " Ucap Ibu dari luar. 


Aku melirik jam dinding coklat bergambar kucing yang bertengger tepat di atas tempat tidurku. Hampir pukul sembilan tepat. Jarang sekali ada orang yang bertamu ke rumah di jam ini. 


"Iya bu, sebentar. " Ucapku. 


"Re, udah dulu ya, katanya ada tamu. " Ucapku mengakhiri panggilan video dengan Reva. 


Aku segera keluar dengan masih mengenakan pakaian tidur dan jilbab instan. Aku bergegas menuju ke ruang tamu sambil membenarkan jilbabku.

Ibu terlihat tengah menghidangkan secangkir teh kepada tamu kami malam ini. Ku pikir sebelumnya tamu yang dimaksud ibu adalah teman kuliahku yang kebetulan lewat dan mampir. Atau mungkin temanku dari organisasi Remaja Masjid kampung yang hendak memberi tahuku program baru.


Di ruang tamu rumah kami yang sederhana, malam ini, duduk seorang pria berparas tampan. Ia tersenyum sembari menjawab beberapa pertanyaan yang ayah lontarkan. Sementara aku masih tertegun di pintu ruang tamu. 


"Adza, sini nak. " Ajak ayah padaku. 

Aku salah tingkah melihat pakaianku dan melihat siapa tamuku. Aku kembali ke kamar dan mengganti pakaian dengan pakaian yang lebih sopan. Aku malu jika harus menemui Pak Ammar dengan pakaian tidur. Ibu yang melihatku kembali ke kamar menyusulku. 


"Adza? " Ucap ibu sambil mengetuk pintu kamarku. 


"Iya bu, sebentar, Adza lagi ganti baju. " Ucapku. 


Selesai mengganti pakaian, aku segera keluar. Ibu ternyata masih menungguku di luar kamar. 


"Itu siapa Za? Istimewa banget ya, sampe harus ganti baju segala? " Goda ibu sambil tersenyum membuatku salah tingkah. 


"Ih ibu, apaan sih. Adza cuman ngerasa nggak sopan aja kalau harus nemuin dia pake pakaian tidur. Lagian dia juga bukan siapa-siapa kok, dia cuman dosen Adza. " Jelasku.


Ibu tersenyum sambil mengusap kepalaku. "Ya udah, kamu mending temuin dia sekarang. " Ucap Ibu lembut. 


Aku mengangguk dan berjalan menuju ruang tamu. Sebenarnya aku bingung, darimana Pak Ammar tahu alamat rumahku? Dan awalnya aku mengira ia tak akan datang ke sini sebelum aku menjawab pertanyaan yang ia lontarkan waktu itu. 


Kakiku kembali terhenti di pintu ruang tamu. Aku mendengar Pak Ammar tengah berbicara serius  dengan ayah. 


"Saya datang untuk meminta izin pada bapak secara langsung.  Saya mengagumi putri bapak yang kedua, Adzalia Rumaisha." Ucap Pak Ammar. 


Aku semakin terkejut. Bukankah ia akan bersabar menunggu jawabanku? Sikapnya saat ini secara tidak langsung malah membuatku semakin merasa terburu-buru untuk menjawab.


"Saya tahu siapa nak Ammar, saya kenal dengan orang tua nak Ammar. Kalian adalah keluarga baik-baik. Namun tetap, keputusan ada di tangan Adza. Saya tidak terbiasa mengekang dan menekan dia sejak dulu. " Ucap ayah membuatku terharu. 


Di satu sisi aku baru tahu bahwa ternyata ayah sudah kenal dengan orang tua Pak Ammar. Mungkin saja Pak Ammar tahu alamat ini dari orangtuanya. 


Aku tahu, dari setiap kata yang dipilih ayah, sejujurnya ia tengah menyampaikan bahwa sebenarnya ia berharap aku akan menerima Pak Ammar. Aku tak dapat memungkiri, usiaku sudah cukup matang untuk menerima lamaran seseorang. Lagi pula, setelah kakak perempuanku menikah dan tinggal jauh dari kedua orang tuaku, aku merasa menjadi anak sulung yang harus menjadi contoh untuk adik tunggalku. Termasuk dalam masalah jodoh seperti saat ini. 


"Namun satu hal yang sangat ingin saya tekankan pada nak Ammar. Adza adalah harta saya yang paling berharga. Dia adalah putri saya yang gigih meski dari dulu saya tidak pernah memberinya tuntutan dan juga tekanan. Dia adalah perpuan istimewa yang harus kamu jaga harga dirinya, kamu jaga hatinya, dan kamu jaga segala hal yang ada pada dirinya dengan sepenuh hati kamu. " Lanjut ayah dengan kesungguhan hatinya. 


Aku semakin berpikir bahwa ayah sesungguhnya telah merestuiku dengan Pak Ammar. Namun bagaimanapun, ia tak akan mengambil keputusan kecuali dengan pilihanku. 


Tiba-tiba ibu datang dan menepuk pundakku. Aku yang tengah termenung dengan air mata menggenang di pelupuk mataku seketika terhenyak menyadari kehadiran wanita tangguh itu. 


"Adza, kenapa kamu masih disini? " Tanya ibu. 


Aku mengedipkan mata beberapa kali kemudian menyeka air mataku. Aku tersenyum kepada ibu dan mencoba untuk menyembunyikan rasa haruku. 


"Iya bu, ini juga Adza mau kesana kok. " Ucapku. 


Aku berjalan masuk ke ruang tamu. Aku kemudian mendudukkan diri di samping ayah. Ayah terlihat tersenyum kepadaku, begitupun Pak Ammar. 


"Adza, Ini nak Ammar, dia bermaksud menyampaikan sesuatu sama kamu. " Ucap ayah kembali membuka pembicaraan setelah aku datang. 


Pak Ammar tersenyum. "Adza, sebelumnya saya mau minta maaf karena sudah lancang datang kenari tanpa seizin dan sepengetahuan kamu. 


Jujur selama ini saya juga melaksanakan istikharah dan merenungkan keputusan ini. Dan hasilnya, malam kemarin saya bermimpi menemui ayah kamu untuk meminta izin secara langsung." Pak Ammar menatap ayah. "Saya minta maaf kepada bapak, malam ini saya sengaja belum mengajak orang tua saya kemari. Saya ingin memastikan jawaban Adza terlebih dahulu, juga keputusan dari bapak. " Ucap Pak Ammar. 


Kenapa dia jadi seolah mememaksaku untuk terburu-buru dalam memberi jawaban? Bukankah sebelumnya Pak Ammar mengatakan bahwa ia akan sabar menunggu? 


"Seperti yang sebelumnya bapak katakan. Semua keputusan ada pada Adzalia. Sebab baik dan kurang baiknya, dia yang akan menerima dan menjalani. 


" Ucap ayah mempersilahlanku untuk memberikan jawaban. 


Aku menghela napas pelan. "Seperti yang bapak tahu. Ini adalah keputusan yang akan menentukan perjalanan hidup kita kedepannya. Pasangan yang dipilih dan pernikahan yang harus dijalani bukan hanya satu atau dua hari, melainkan seumur hidup. Jujur, saya belum memiliki jawaban dan ketetapan hati untuk saat ini. Saya perlu waktu lagi untuk meminta jawaban dari Allah. " Ucapku mengutarakan isi hati. 


"Saya tidak masalah jika harus menunggu. Saya yakin keputusan yang Allah berikan nanti adalah yang terbaik untuk kita semua." Ucap Pak Ammar menerima keputusanku saat ini. 

Ayah tersenyum. Ia mengerti denganku, sifat dan sikapku. Ia tahu bagaimana jalan pikiranku dalam menentukan keputusan. Dan aku yakin ayah pasti akan mengerti keputusan apapun yang akan ku ambil kedepannya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nadi yang Disangka Alibi

Tuan Muda Dari Negeri Renta

Selamat 31 Tahun A IQBAL