LTSI ARCA10

 Aku duduk di teras belakang rumahku. Sebuah buku bersampul merah muda menemaniku. Buku ini adalah sebuah novel karya salah satu penulis Indonesia. Judulnya "About Love". Aku baru selesai membaca separuh buku ini namun rasanya aku sudah benar-benar terlarut dalam alur kisahnya. 

Terlihat dari balik pintu, ibu datang dengan secangkir teh. Ia terlihat tersenyum dan mendudukkan diri di sampingku. Aku segera menutup novel yang tengah ku baca dan fokus pada ibu yang kini tengah mengelus kepalaku. 

"Ini ibu bawain kamu teh buat nemenin kamu. " Ucap Ibu ramah. 

Aku tersenyum menyambut teh yang ibu bawa kemudian mencicipinya. Rasanya manis dan baunya juga harum. Teh racikkan tangan ibu-ibu kampung ini rasanya benar-benar nikmat. Karena kami tinggal di dataran tinggi dan tak jauh dari kebun teh, maka si pemilik kebun mengizinkan ibu-ibu yang tidak memiliki pekerjaan untuk ikut serta dalam pengolahan teh. 

"Ibu bersyukur kamu sekarang sudah bisa kuliah seperti cita-cita kamu dulu. Meskipun keluarga kita nggak kaya raya, tapi alhamdulillah Allah selalu memberi jalan atas setiap cita-cita kamu. " Ucap Ibu membuatku terharu. 

"Tapi kamu ingat kan pesan ibu sebelum kamu kuliah? " Ucap Ibu mengingatkanku pada suatu hal. "Setinggi apapun cita-cita kamu, sejauh apapun kamu pergi untuk mewujudkannya, pada dasarnya kamu tetaplah seorang perempuan yang suatu hari akan menjadi istri dan ibu. Kamu boleh menggapai cita-cita kamu, tapi jangan sampai kamu melupakan kodrat kamu sebagai seorang perempuan. " Ucap ibu. Aku tertunduk memerhatikan dengan saksama. 

"Ibu selalu ingin, ketiga anak perempuan ibu memiliki kehidupan yang lebih baik dari ibu dan ayah. Ibu ingin kalain hidup bahagia di dunia dan di akhirat. Dan semua itu tidak akan pernah bisa kalian capai tanpa adanya seorang imam yang baik yang menuntun kalian. " 

Aku terdiam. Aku tahu kemana arah pembicaraan ini. Aku tahu ibu dan ayah pasti tidak mau lebih lama membuat Pak Ammar menunggu. Terlebih ternyata orangtua Pak Ammar adalah teman dekat ayah dulu waktu masih MA. 

"Menurut ibu, kamu sangat beruntung mendapat pinangan dari orang seperti nak Ammar. Ibu yakin dia bisa membuat kamu bahagia." Ucap ibu memberiku tanda bahwa ia ingin aku menerima Pak Ammar. 

Aku tak pernah bercerita tentang satupun laki-laki pada ibu ataupun ayah. Dan tentang perasaanku yang bertahun-tahun terpendam pada Devan-pun, mereka tidak pernah tahu. Dan aku rasanya tidak siap jika harus mengutarakan perasaanku yang sesungguhnya, juga alasan kenapa hingga saat ini aku masih belum memberi jawaban pada Pak Ammar. 

"Iya bu, Adza mengerti. Tapi bagaimanapun, Adzan juga tetap harus memiliki ketetapan hati dulu untuk bisa memberi Pak Ammar jawaban. " Ucapku berharap ibu mengerti.

Ibu mengangguk. Aku yakin ia mengerti dengan sikapku. Ia memang terbiasa memberiku keluasan untuk berpikir dan menentukan keputusan. Ibu bagiku bukanlah sosok yang penuh penekanan namun tetap memberiku batasan yang jelas. 

•••

Besok Devan akan kembali ke Jogja. Jujur setelah kejadian di mesjid mts itu, aku masih belum siap untuk mengatakan tentang orang yang Devan cari selama ini. Meskipun aku tahu dimana keberadaannya. 

Jujur aku merasa belum siap untuk jujur pada Devan. Aku belum siap jika dia harus menemui dan mengetahui lebih banyak tentang gadis itu. Meskipun akuh tahu aku akan sangat menerima apapun yang terjadi kedepannya nanti. 

Aku berhenti di depan sebuah rak di toko buku terbesar dikota ini. Ada sebuah buku yang membahas mengenai cara menemukan pilihan lewat istikharah. Aku mengambil buku tersebut dan membawanya ke kasir. 

Tiba-tiba ponselku berdering. Aku melihat nama Reva dilayar ponselku. Aku segera mengangkatnya. 

"... "

"Iya Re kenapa? " 

"... "

"Nggak bisa aku lagi di toko buku. "

"... "

"Iya si cuman aku yakin kamu nggak mah nunggu soalnya... "

Bruuk.. 

Seseorang tanpa sengaja menabrakku membuat buku di tangan kiriku terjatuh. Ia segera memungut buku tersebut dan meminta maaf padaku.

"Kak Adza? Kak maaf ya aku nggak sengaja. " Ucap Gadis berkacamata itu dengan nada bersalah. 

Aku tersenyum dan menerima buku dari tangannya. 

"Um.. Re, udah dulu ya, nanti telepon lagi. " Ucapku kemudian tanpa basa-basi mematikan ponselku. 

"Iya Cha, nggak papa kok. " Ucapku menyadari bahwa yang ada dihadapanku adalah Chacha—adik Devan. 

"Eh, kak Adza mau beli buku ya? " Tanya Chacha padaku. 

Aku mengangguk sambil tersenyum. "Chacha mau beli buku juga? " 

"Iya kak. " Jawab Chacha. "Eh kak Adza abis ini mau kemana? " Tanya Chacha kemudian. 

Aku berpikir sejenak. "Um.. Aku keknya nggak kemana-mana deh, palingan langsung pulang. " Ucapku jujur. 

"Kalo gitu, kita bisa ngobrol-ngobrol dulu nggak kak? Aku pengin banget cerita-cerita sama kak Adza. " Ajak Chacha. 

Aku senang sejujurnya. Namun entah, jujur aku takut hal ini malah semakin membuka harapan di hatiku, padahal aku tahu bahwa Devan sama sekali tak pernah mengingat peranku dimasa lalu. 

"Gimana kak? Bisa kan? " Ulang Chacha. 

Aku masih terdiam memikirkan sesuatu. 

"Bisa ya kak, please.. " Ucap Chacha memelas. 

Jujur aku tak tega melihatnya. Bagiku, Chacha adalah hadis yang baik. Gadis kelas 12 SMA ini terlihat begitu polos. 

p"Ya udah deh, aku bisa. " Ucapku membuat Chacha menunjukkan wajah excitednya. 

Kami lalu keluar setelah menghampiri kasir dan membayar. Chacha mengajakku untuk mampir di caffe yang kebetulan terletak persis di sebelah toko buku ini. 

"Kak Adza, aku mau tanya deh. " Ucap Chacha memulai pembicaraan. 

"Iya Cha, tanya apa? " Jawabku. 

"Kakak kemarin abis jalan ya sama Bang Devan? " Tanya Chacha seketika membuatku speechless. 

Aku tak yakin, tapi sepertinya Devan menceritakan sesuatu pada gadis berkacamata di hadapanku. 

"Iya, emangnya, kenapa? " Tanyaku agak canggung. 

"Enggak si, dia soalnya kemarin cerita kalo dia pergi ke MTs-nya dulu, dan entah kenapa dia ngerasa betah banget. Dia ngerasa nemuin hal yang udah lama dia cari. " Kisah Chacha. 

Mungkinkah semua itu terjadi karena orang yang menemani Devan kemarin adalah aku? Jujur aku ingin sekali memberitahunya waktu itu bahwa aku adalah gadis yang selama ini ia cari. Aku adalah perempuan yang selama ini ingin ia temui! Namun aku masih tak memiliki keberanian untuk mengucapkannya. Aku bahkan takut ia akan kecewa. Aku merasa begitu banyak kekurangan yang ada dalam diriku saat ini. Mungkin secara kasar, percaya diriku sangat kurang untuk mengakui semua itu. 

"Dia cerita apa aja sama kak Adza? " Tanya Chacha kemudian. 

Aku sempat terdiam, bingung bagaimana menceritakannya. 

"Dia, kemarin cerita soal gadis yang dia suka waktu MTs dulu. "  Jawabku singkat. 

Chacha tersenyum tipis. Ia kemudian menghela napas. "Oh, tentang Putri Mimpi. " Ucap Chacha.

Aku mengerutkan dahi. "Putri Mimpi? " Tabyaku tak mengerti. 

"Iya, soal cewek yang selama bertahun-tahun ini sukses bikin bang Devan kek orang yang nggak selera sama cewek lain. " Chacha kemudian membenarkan posisi duduknya. "Aku bingung deh kak, selama lima tahun ini, kak Devan bisa terpaku sama satu perempuan yang bahkan dia sendiri udah lupa mukanya, nggak tau namanya, dan nggak tau dia dimana. Jujur aku pengin banget nemuin mereka berdua. Aku pengin bilang ke Putri Mimpi kalo Bang Devan udah berubah, aku mau bilang kalo dia udah berhasil ngerubah hidup bang Devan meskipun dianya sendiri nggak nyadar. " Ucap Chacha terlihat serius. 

"Hm.. Kamu, serius, mau, nemuin dia? " Tanyaku ragu. 

"Ya pengin si kak. Tapi emang kakak tau dia dimana sekarang? " Tanya Chacha kemudian. 

Aku menghela napas pelan. Andai saja aku berani, aku sangat ingin mengakui bahwa aku adalah orang yang tengah ia cari! Aku ingin memberitahu Chacha bahwa orang itu kini ada dihadapannya. 

Aku tak mengerti. Aku justru malah takut jika orang yang ada di dalam ekspektasi Chacha bukanlah aku, atau mungkin jauh dariku. Aku yang hanya seorang gadis biasa dari keluarga sederhana. Aku yang mungkin untuk saat ini merasa belum memiliki apapun untuk dibanggakan. 

Chacha yang melihatku terdiam sepertinya tengah menebak bahwa aku tidak mengetahui tentang orang yang ia cari. 

"Hm.. Emang susah si kak nyariin orang yang kita nggak tau mukanya, nggak tau juga namanya. Tapi aku bingung kenapa Bang Devan sampe sekarang masih yakin banget bahwa ia bakalan ketemu sama perempuan itu. Gimana kali ternyata perempuan itu sekarng udah nikah? Atau bahkan mungkin udah punya anak. " Ucap Chacha dengan nada kesal. 

Aku terkekeh pelan. "Bukan kita yang nentuin perasaan Cha. Mungkin itu juga yang selama ini udah buat kakak kamu luluh dan nggak mau berpaling. " Ucapku. 

"Andai aja orang yang kak Devan cari itu kak Adza. Kan gampang, nggak usah capek-capek nyari lagi. Bang Devan juga pasti biasa lebih fokus lagi kuliahnya. 

" Loh emang, kemarin-kemarin kak Devan nggak fokus kuliahnya? "Tanyaku.

" Dia cerita sama aku, kalau beberapa hari sebelum dia mutusin buat kesini, dia mimpiin perempuan itu lagi ada sama dia musholla MTs tempat mereka pertama kali ketemu dulu. Terus dia bilang daripada di Jogja nggak fokus mending pulang dulu kesini, sekalian liburan. "

"Kamu tau ciri-ciri perempuan itu seperti apa" Tanyaku.

"Seinget aku si kak Devan ngasih tau kalo dia cantik, putih, tinggi, nggak terlalu kecil tapi nggak gendut juga. Kerudungnya suka panjang dan elegan, terus senyumnya manis. " 

Aku tertegun memikirkan deskripsi seseorang yang Chacha sebutkan. Chacha terlihat menyeruput minumannya. "Oh iya kakak dulu MTs dimana? " Tanya Chacha kemudian. 

Aku terdiam. Ya Allah, mungkinkah ini saatnya?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tuan Muda Dari Negeri Renta

Menanti Usai