LTSI Arca 6
Reva dan Fakhran duduk di kursi tak jauh dariku. Mereka melihat ke arahku yang tengah duduk sendiri di bangku belakang kelas. Fakhran sengaja datang ke kelasku. Aku tahu sedari tadi mereka tengah berbisik membicarakanku aku mengerti jika mereka aneh melihat sikapku yang terkesan mendadak cuek dan pendiam. Jujur pertemuanku dengan Devan kemarin masih mempengaruhi sikapku. Aku unmood untuk melakukan banyak hal, bahkan untuk sekedar menyapa teman-temanku.
Tiba-tiba Reva dan Fakhran menghampiriku. Keduanya mendudukkan diri di dekatku. Kulihat mereka menatapku bergantian. Sementara aku hanya pura-pura tak peduli dan tertunduk melihat buku di hadapanku.
" Lo kenapa sih Za? Dari pagi kelihatannya Murung terus. Lo lagi ada masalah ya?" Tanya Fakhran memastikan keadaanku.
Aku menggeleng pelan. Perlahan aku mengangkat kepala dan melihat keduanya bergantian. "Aku nggak papa kok. " Ucap ku sambil memaksakan senyuman.
"Gue gak yakin lo gak kenapa-kenapa." Ucap Reva menimpali. " Enggak biasanya lo duduk dibelakang, apalagi barusan pelajaran Pak Amar, biasanya juga lo duduk di samping gue di depan."
Ucap Reva dengan tatapan penuh selidik.
" Cerita dong Za kita kan temen baik lo, kalo ada masalah, lo bisa cerita ke kita. Siapa tau kita bisa bantu, ya kan Ran" Ucap Reva berusaha membuatku berbicara. Fakhran mengangguk menyetujui ucapan Reva.
Aku kembali menatap keduanya. Perlahan aku tersenyum meski jujur ini agak sulit dan mungkin akan terlihat kurang Tulus." I am fine oke? Don't Worry about me. " ucapku menyakinkan mereka. Aku kemudian bangkit keluar dari kelas meninggalkan Reva dan Fakhran yang terlihat masih kebingungan denganku.
Aku berjalan sendiri di lorong yang agak ramai. Aku baru sadar, beberapa pasang mata menghujaniku dengan tatapan yang tak biasa. Mereka melihat ke arahku bergantian kemudian terlihat berbisik arah lawan bicara di hadapan mereka. Aku meneruskan langkah, tak peduli dengan keadaan di sekelilingku yang sejujurnya nampak tak biasa.
Tiba-tiba saja, seseorang dengan kasar mencengkram tanganku dan menarikku pergi. Aku menatap wanita yang terlihat penuh emosi membawaku ke belakang kampus. Aku tahu dia siapa. Dia adalah Renata, seniorku dari fakultas hukum. Ia terkenal tegas dan selalu ingin mendominasi di setiap keadaan. Artikel-artikel yang ia tulis telah banyak dimuat di halaman blog resmi kampus. Dan rata-rata kubaca setiap tulisannya itu selalu mengandung pesan persuasi yang tinggi.
Kami tiba di halaman belakang kampus. Tempat ini terkenal sepi dan jarang dikunjungi orang. Aku heran kenapa dia membawaku kemari.
" Lo jujur sama gue, lo ada hubungan apa sama Kak Ammar?! "Tanya Renata to the point padaku.
Aku mengerutkan dahi tak mengerti. "Maksudnya? "Tanyaku.
" Jangan pura-pura bego deh lo!" Ucapnya dengan nada meninggi.
"Saya nggak ngerti apa yang kamu bicarakan. Maksud hubungan di sini apa ya?".
Ia terdiam sejenak. Tatapannya semakin tajam. Ia mendekat ke arahku. "Lo jujur sama gue, Apa Kak Ammar beneran ngelamar lo? Tanya Renata kemudian.
Aku terdiam. Dari mana dia tahu tentang hal ini? Padahal sebelumnya kurasa tak ada yang melihat kami saat sedang berbicara di taman waktu itu. Sejak kejadian itu, aku dan Pak Amar tidak pernah lagi ngobrol berdua.
"Kenapa lo diam?" Tanya Renata tajam. "Benerkan dugaan gue?" Ucapnya penuh emosi. "Dasar cewek ga tau malu!" Ucapnya sambil hendak melayangkan satu tamparan padaku.
Dengan cepat aku mengelak. Aku memegang tangannya yang hampir saja mendarat di wajahku. "Apa hak kamu untuk marah kalau Pak Ammar ngelamar orang lain?" Aku berbalik tajam sambil menghempaskan tangannya.
" Lo tahu kan dia deket sama gue? "
" Apa kalian berdua ngerasain hal yang sama? Atau cuman kamu yang merasa seperti itu? Tolong pastiin dulu hubungan kalian sebelum kamu mau ngelabrak saya. " Ucapku menahan amarah.
Jujur, Aku bukan tokoh yang bisa diam saat ada orang lain menindasku tanpa alasan. Aku bisa membela diriku kapan saja, jika memang aku merasa perlu untuk melakukannya.
Renata terlihat geram. Ia kemudian pergi meninggalkanku dengan wajah yang masih penuh dengan kekesalan.
Aku menghela napas berat. Jangan-jangan ini adalah hal yang menyebabkan semua orang menatap ku tak biasa hari ini. Bagaimana jika berita tentang lamaran Pak Amar padaku semakin menyebar? Aku yakin akan banyak orang membicarakanku.
Aku berjalan meninggalkan halaman belakang kampus. Hatiku semakin berkecamuk. Sejujurnya, Entah kenapa, Rasaku Untuk Devan masih juga belum usai. Terutama setelah menemuinya lagi kemarin. Meski aku tahu, pertemuan kami kemarin sempat membuatku kecewa padanya. Namun rasa ini masih tidak juga berkurang.
Aku mencintainya bahkan meski kesalahannya terlihat jelas di hadapanku. Rasa ini masih sama. Rasa ini masih untuknya.
Di sisi lain aku bingung menentukan jawaban untuk Pak Ammar. Mungkinkah aku harus menyerah, menerima lamarannya dan belajar mencintainya? Bukankah belajar mencintai itu mudah? Bukankah semua bermula dari kebiasaan?
Seseorang tiba-tiba berdiri di hadapanku. Ia sepertinya sengaja menghalangi jalanku. Aku berhenti dan mengangkat kepalaku. Kulihat wajah di hadapanku—orang yang baru saja ku pikirkan. Dia adalah Pak Amar.
"Za?" Ucap Pak Ammar tiba-tiba.
"Iya Pak," Ucapku sambil tetap menunduk.
Aku tahu saat ini ada banyak mata yang tertuju kearah kami berdua.
" Kamu kenapa hari ini duduk paling belakang saat pelajaran Saya? Nggak kayak biasanya. " Tanya Pak Ammar yang tidak tahu keadaan ku yang sebenarnya saat ini.
" Saya nggak papa kok Pak. " Ucapku berbohong.
"Lalu Kapan kamu mau jawab pertanyaan saya waktu itu? Apa kamu sudah bersedia menuliskan Alamat kamu di buku saya?" Tanya Pak Ammar membuatku semakin merasa tertekan.
"Saya.." aku terdiam. Aku masih belum punya jawaban yang ia inginkan. Aku binngung. Satu minggu beristikharah, aku tak kunjung menemukan kepastian. Di hari ketujuh kemarin aku bertemu dengan Devandra lagi. Dan rasaku yang sempat surut, kini malah kembali utuh.
"Saya gak maksa kamu untuk terburu-buru memberi jawaban kok. Kamu tenang aja, kamu bisa memikirkannya matang-matang dulu . Lagipula, saya juga nggak mau ganggu kuliah kamu dan meminta untuk menikahi kamu dalam waktu dekat." Pak Ammar menghela pelan." Jujur, saya ingin kamu serius mencari jawaban. Saya gak mau kamu gegabah. Dan Insya Allah, saya siap menerima apapun jawaban kamu nanti. "Ucapan Pak Ammar.
Aku tersenyum tipis. "Makasih Pak. " Ucapku pelan.
Pak Ammar membalas ucapanku dengan senyuman. "Saya pergi dulu ya." Ucapnya kemudian.
Suaranya kakinya terdengar berjalan menjauhiku. Aku membalikkan badan menatap punggungnya yang semakin menjauh. Dia adalah lelaki baik yang tak mau ku sakiti hatinya. Bahkan aku tak pernah sedikitpun berharap mendapat cintanya. Semua itu Justru karena aku takut akan menemui keadaan seperti ini.
Rasanya semakin tak jelas. Hatiku makin terasa bimbang. Aku melanjutkan langkahku untuk pulang.
Tiba-tiba Fakhran menghadangku. Ia menatapku kemudian tersenyum padaku. "Lo kok masih murung gitu sih?" Ucapnya.
Aku tahu ia mencoba menghiburku. Namun entah kenapa aku justru merasa tak memerlukan hal itu saat ini.
"Lo pasti mau pulang ya? " Tanya Fakhran kemudian
" Iya. "Jawabku singkat.
" Gimana kalau lo pulang bareng gue? Hari ini gue pulang dijemput sama sepupu gue yang baru aja pulang dari Jogja. Dia lagi libur kuliah. Dia pasti senang ketemu sama lo. " Ucap Fakhran mencoba menghiburku.
" Sepupu kamu perempuan?" Tanyaku seolah antusias dengan tawarannya.
"Cowok sih, cuma nggak apa-apa, dia sopan kok. Lagian kan ada gue, pokoknya nanti gue anterin lu sampai rumah. Biar lo hemat ongkos juga, iya kan? " Ucap Fakhran menawariku.
Jujur aku tak mau mengecewakannya. Aku kemudian menyetujui ajakan Fahran ia kemudian mengajakku pergi.
"Tumben kamu dijemput, biasanya juga bawa kendaraan sendiri" Tanyaku.
" Motor gue lagi di bengkel Za, maklum motor antik. "Ucapnya bercanda
"Eh ngomong-ngomong sepupu gue orangnya seru tau, dia pasti bisa bikin lo senyum. "
"dia usia berapa? " Cuma lebih tua satu taun dari kita sih. Dia Sekarang kuliah arsitek di Jogja kebetulan minggu lalu, dia pulang dulu ke sini katanya lagi kangen banget sama kampung halaman. " jelas Fakhran.
"Nah itu dia mobilnya." Ucapnya kemudian sambil menunjuk ke arah sebuah mobil hitam yang terparkir di seberang gerbang kampus.
Kami lalu menghampiri mobil tersebut. Terlihat kaca mobil yang perlahan terbuka. Aku melihat seorang perempuan berkacamata. Ia terlihat cantik.
"Eh, ada Caca juga kok tumben lu mau ikut jemput gue ke sini." Ucap Fakhran kepada perempuan tersebut.
Perempuan yang Fakhran panggil Caca itu keluar dari mobil bersamaan dengan si pengendara yang belum kulihat wajahnya. Tiba-tiba, jantungku kembali berdetak kencang. Sepupu yang Fakhran maksud ternyata adalah Devandra. Aku tak tahu kenapa dunia terasa menjadi sesempit ini. Kenapa berturut-turut aku dipertemukan dengan Devan. Dan gadis ini, mungkinkah ia pasangan Devan? Mungkinkah ini pertanda bagiku untuk benar-benar melupakannya?
Ia berdiri dihadapanku sambil menatap wajahku. Aku yakin dia pasti ingat padaku yang kemarin menegurnya karena buang sampah sembarangan.
"Ini siapa?" Tanya Fakhran sambil melihat ke arahku.
" Oh ya kenalin ini Adzalia, dia temen kampus gue." Ucap Fakhran memperkenalkanku.
Perempuan bernama Caca menyambut perkenalan itu dan mengulurkan tangan kepadaku. Ternyata ia sangat ramah.
"Hai, gue Arasya lo bisa panggil gue Caca. Gue sepupunya Fakhran." Ucapnya memperkenalkan diri.
Aku menyambut uluran tangannya. "Aku Adzalia. Kamu bisa panggil aku Adza." Aku balik memperkenalkan diri.
Tiba-tiba Devan melakukan hal yang sama. Ia mengulurkan tangan ke arah ku. "Kenalin gue Devandra Rafshand Maharendra. "
Jantungku berdetak semakin kuat. Aku tak menyangka akan menemui keadaan seperti ini. Dan perempuan ramah yang sempat kukira pasangannya ternyata adalah adiknya.
"Ekhem.." Devan melihatku yang terdiam menatap tangannya.
Aku merapatkan kedua telapak tanganku. "Saya Azalia." Ucapku memperkenalkan diri
"Oh sorry". Ucapnya yang menyadari aku yang tak mau bersalaman dengannya.
"BTW, lo orang yang kemarin nasihatin gue gara-gara buang sampah sembarangan bukan sih?" tanya Devan kemudian.
Aku tersenyum tipis. Ternyata ia masih mengingatnya. Aku mengangguk pelan.
"Maaf ya kemarin gue udah sembrono buang sampah sembarangan ". Ucapnya minta maaf padaku.
" Nggak papa kok. "Jawabku canggung.
" Jadi kalian Sebelumnya udah pernah ketemu?" tanya Fakhran Kami mengangguk bersamaan. Devan terlihat tersenyum ke arahku.
"Ya udah, kita pulang yuk. " Ajak Chacha kemudian.
"Oh ya, sebelum pulang, gue mau kita nganterin Adza dulu, soalnya dia lagi agak badmood hari ini, jadi dia perlu deket-deket sama gue. " Ucap Fakhran bercanda. Reflek, aku mencubit pinggangnya, membuat Fakhran meringis kesakitan.
Devan dan Chacha terlihat geleng-geleng kepala. "Ya udah nggak papa, kita anterin dulu Adza. " Ucap Devan berbaik hati.
Jujur, ini adalah pengalaman yang sama sekali tak pernah terbayang dipikiranku. Bahwa aku akan bersahabat dengan sepupu Devandra, orang yang sangat ku cintai.
Sepanjang jalan, Devan dan Chacha terus bertanya mengenaiku. Jujur aku sangat bahagia bisa bertemu kembali dengan Devan, sekaligus dengan adik dan sepupunya. Terlebih setelah aku tahu bahwa ternyata adiknya sangat ramah padaku. Ia bahkan terlihat excited mengetahui bahwa aku adalah seorang penulis sekaligus mahasiswi jurusan psikologi.
"Caca suka nulis loh kak, Caca juga pengen banget nati kalo udah lulus SMA, bisa kuliah jurusan psikologi. Kapan-kapan kita sharing ya kak? " Ajak Caca antusias.
Aku tersenyum mendengarnya. "Iya in syaa Allah" Jawabku
.
Sepanjang jalan, tiada henti Caca mengajakku mengobrol. Ia bahkan bertukar nomor ponsel denganku. Aku bahagia bisa mengenal gadis sebaik dia. Di ramah dan juga baik. Aku menjadi tidak canggung untuk mengobrol dengannya.
Sesampainya di rumah, aku mengambil buku harianku. Ku tuliskan setiap keterjadian indah yang ku alami hari ini. Segala hal berharga, segala pertemuan yang sebelumnya tak pernah ku duga.
Komentar
Posting Komentar