LTSI ARCA9

 Aku keluar dari dalam kelas. Tiba-tiba Fakhran muncul dan menarik tanganku menuju ke arah mading. Reva yang masih di dalam kelas mengikuti kami dari belakang. 

"Ada apa si Ran? " Tanyaku heran. 

"Lo liat di mading. Sekarang lo bakalan tau penyebabnya kenapa semua orang sinis sama lo." Ucap Fakhran. 

Banyak orang berkumpul di mading. Aku merasakan firasat jelek. Perlahan aku melangkah menuju mading. Orang-orang yang tengah berkerumun memberiku jalan sambil terus menghujaniku dengan tatapan yang tak biasa. 

Aku melihat sebuah tulisan yang diketik rapi terpampang dengan memperlihatkan fotoku dan Pak Ammar berdua di taman. Aku membacanya dengan saksama. 

Aku menarik napas berat. Air mataku menggenang. Tulisan ini menyatakan fitnah terhadapku. Bahwa aku yang mendekati Pak Ammar dan terus berusaha membuatnya jatuh cinta padaku, dan aku bukanlah wanita baik-baik seperti yang dipikirkan banyak orang. Justru semua kebaikan dan sikapku tak lebih dari alat untuk menarik perhatian Pak Ammar. Dan hijabku, tak lebih dari sarana untuk menutup segala kebusukanku. 

Tiba-tiba, Pak Ammar datang dan berdiri di hadapanku. Ia melihatku tertunduk menahan air mata. Dengan segera tangannya merampas tulisan di mading. Ia kemudian membacanya dengan saksama. Orang-orang terlihat makin antusias melihat kami. 

"Sampe segitunya ya Pak Ammar sama Adza."

"Gue curiga Pak Ammar kena pelet . "

"Nggak nyangka gue sama Adza"

"Fuckgirl emang"

Bisikkan demi bisikkan terdengar di telingaku. Mereka tega mengatakan semua itu. Mengatakan semua hal yang bahkan belum tentu kebenarannya.

Pak Ammar terlihat menahan amarah. Ia kemudian meminta semua orang untuk bubar dengan cara baik-baik. Ia kemudian melihatku yang masih menahan air mata. 

Aku segera pergi meninggalkan Pak Ammar. Aku tak mau ia melihatku menangis. 

"Adza, tunggu! " Ucap Pak Ammar berusaha menahanku. 

Aku mempercepat langkahku untuk pergi. Aku tahu ini adalah resiko yang harus ku tanggung jika memiliki hubungan dengan orang seperti Pak Ammar. Orang yang memiliki koneksi luas dan disukai oleh banyak kalangan karena segala hal yang ia miliki. Mulai dari fisik, akhlak bahkan hingga kecerdasannya. 

Aku melangkah menuju ke luar kampus. Sepanjang jalan aku mendengar begitu banyak ucapan pedas terutama dari mulut Mahasiswi disini. Mereka mengataiku munafik, bermuka dua, tak memiliki akhlak dan ucapan-ucapan kasar lainnya. 

Aku berusaha untuk lurus menyusuri jalanku. Meski sejujurnya semua ucapan itu terdengar tak mengenakkan bagiku. Namun aku yakin aku masih kuat untuk menahan amarah dalam diriku. 

Aku menghentikan sebuah angkot dan pergi dari kampus. Sejujurnya, aku tak memiliki tujuan saat ini. Entah aku akan pergi kemana. Namun yang jelas saat ini aku sedang ingin sendiri. Aku ingin menghabiskan banyak waktu untuk menenangkan diri. 

Angkot berhenti untuk menurunkan seorang penumpang tepat di taman kecil kota yang menghadap langsung ke danau. Aku memutuskan untuk ikut turun. 

Kakiku melangkah.  Aku pergi untuk duduk di salah satu bangku taman yang ada di sana dengan mata memerah akibat menahan air mata. Sejujurnya aku tak mengerti, siapa yang berani membuat berita seperti itu tentangku. Aku juga bingung kenapa dengan mudah semua orang bisa percaya pada berita itu. 

Aku mendudukkan diri di bangku taman yang menghadap langsung ke danau. Keadaan disini tenang. Jalanan terhalang oleh berbagai tanaman serupa semak dan pepohonan. Disini teduh, dan kebetulan siang ini taman  sedang sepi. Hanya terlihat beberapa anak yang sedang main layangan nun jauh di sisi lain danau. 

Aku menyandarkan tubuhku pada bangku taman. Rasanya berat mengingat sikap semua orang yang menyalahkanku. Aku belum menjadi siapa-siapa dalam hidup Pak Ammar dan sekarang sudah banyak orang yang membenciku. Aku tak tahu jika nanti aku menerima Pak Ammar, bagaimana lagi sikap orang-orang padaku. 

Tiba-tiba, seseorang datang dan duduk di sampingku. Ia menyerahkan sebuah es krim vanila padaku. Aku segera mengusap air mataku dan melihat ke arahnya. 

"Ini buat ngilangin sedih lo. " Ucapnya dengan senyuman yang membuatku merasa tak lagi menapak di muka bumi. 

Aku tertegun. Aku memandang wajahnya dan eskrim di tangannya. Ia terlihat sangat tampan, sama seperti saat pertama kali Ia memberiku sajadah dulu. 

"K-kak Devan? " Tanyaku tak percaya. 

Apakah ini sungguhan? Devan membawa dua buas eskrim dan memberikan satu padaku. Mungkinkah kenyataan yang ku alami hari ini seindah cerita-cerita yang biasa ku temui di novel? 

"Kok malah di liatin si? Ambil dong, nanti keburu cair. " Pinta Devan sambil mengarahkan Eskrim padaku. "Ehm.. Atau, lo nggak suka eskrim ya? " Tebak Devan. 

"Eh enggak, aku suka kok. " Ucapku canggung. Aku kemudian menerima eskrim pemberian Devan. Ia tersenyum ke arahku. 

Kebetulan aku memang penggemar eskrim. Rasanya yang manis dan dingin bisa membuatku merasa lebih baik. Aku sendiri tak tahu kenapa Devan bisa datang dan membawakanku eskrim. Dia datang disaat yang tepat dengan membawa sesuatu yang tepat. 

"Btw, gue ganggu nggak? " Tanya Devan. 

Aku tersenyum. "Enggak kok Kak. " Ucapku. 

Perlahan Devan menerawang wajahku."Lo kenapa? Kenapa nangis? " Tanya Devan lembut sambil menatapku intens. 

Jantungku berdebar kencang. Aku tak mengerti kenapa ia harus melakukan itu padaku. Aku malah merasa semakin canggung. 

"A-aku nggak papa kok kak. " Ucapku berbohong. 

Devan menghela napas. "Bohong banget si kalo lo bilang nggak papa." Ucapnya sambil tertawa kecil. "Tapi nggak papa, mungkin gue bukan orang yang tepat buat lo cerita. Tapi lo harus cobain deh eskrimnya. Tadi gue beli di abang-abang yang keliling, cuman nggak ada kembalian. Makanya gue beli dua. " Kisah Devan. 

Aku tersenyum dan menikmati eskrim pemberiannya. Entah kenapa, orang bilang, jika kita tengah jatuh cinta, segala hal akan terasa indah. Bahkan hari ini eskrim yang ku makan terasa seperti eskrim paling nikmat yang pernah ku rasakan seumur hidupku. 

"Gue sih kalo lagi badmood biasanya suka makan eskrim, soalnya enak, manis, terus dingin, bikin nyaman. " Ucap Devan. 

Entah kebetulan atau apa, ternyata kami memiliki kebiasaan yang sama. Aku terkekeh pelan. Ini terdengar seperti kisah fiksi remaja di aplikasi novel gratis. Rasanya hidupku yang beberapa jam lalu terasa hancur, detik ini seketika pulih dan menjadi kisah hidup terindah didunia. 

"Enak nggak eskrimnya? " Tanya Devan. 

Aku mengangguk sambil tersenyum. 

"Ya udah lo abisin ya, siapa tau abis ini mood lo bisa membaik. " Ucapnya. 

Aku bahagia hari ini bisa Bersama dengan Devan, meskipun karena ketidaksengajaan. Aku bahagia bisa duduk di sampingnya, merasakan dihibur olehnya. Padahal sebelumnya aku sempat berpikir bahwa mungkin aku tak akan pernah merasakan dikenal oleh Devan. Tak juga merasakan mengobrol dan bercengkrama dengannya. 

"Oh iya Za, lo sendiri kesini? " Tanya Devan kemudian. 

"Iya kak aku sendiri ke sini. " Jawabku. "Kakak sendiri kesini sendiri? " Tanyaku berusaha untuk akrab dengannya. 

"Iya, gue sendiri ke sini. " Jawab  Devan. "Gue sebenernya lagi badmood Za. Soalnya bentar lagi gue udah harus balik ke Jogja. Gue nggak mau terlalu lama ninggalin kuliah gue di sana. " Ucap  Devan. 

"Kak Devan kenapa pulang ke sini? " Tanyaku. 

"Sebenernya si nggak ada apa-apa. Cuman entah kenapa tiba-tiba rasanya gue pengin banget balik ke sini. Entah kenapa rasanya gue kangen banget sama kota ini, sama kisah gue dulu waktu masih disini. "Ucapnya. 

Seolah semua telah Allah rancang dengan sebaik mungkin. Devan kembali di saat-saat yang menurutku tepat. Mungkinkah Allah mengirimnya kemari untuk mencegahku menerima lamaran Pak Ammar? 

"Eh BTW, lo mau nggak nemenin gue ke suatu tempat hari ini? Gue pengin banget ke sekolah lama gue. Entah kenapa rasanya gue kangen banget sama sekolah itu. " Ucapnya. 

"Maksud kakak sekolah yang mana? " Tanyaku.

"Mts gue dulu. " Ucapnya membuatku terdiam. 

Devan merindukan tempat dimana untuk pertama kalinya Tuhan pernah mempertemukan kami. Dan hari ini, ia ingin mengajakku untuk pergi ke sana. 

•••

Aku dan Devan berjalan beriringan. Mimpi yang menjadi kenyataan, kurang lebih seperti itulah indahnya kisahku hari ini. Meski sempat menganggap semua ini tak mungkin terjadi, namun aku sendiri tak dapat memungkiri skenario Tuhan yang amat indah. Ia berkuasa untuk menyatukan dan memisahkan sesuatu bahkan yang tersulit sekalipun. 

Kami memasuki gerbang utama sekolah favorit ini. Seorang satpam menyambut kami. Devan segera menghampiri Pak satpam yang bahkan telah bekerja sejak kami masih sekolah disini dulu. Devan terlihat antusias dan mengalami Satpam paruh baya tersebut. 

"Om Jon, ini saya, Devan, mantan danton paskibra yang dulu kalo latihan hari minggu suka ngebakso bareng Om Jon disini. " Ucap Devan berusaha mengingatkan Pak Jono satpam sekolah. 

Aku tersenyum melihatnya. Pak Jon terlihat seperti orang yang baru saja menemukan sesuatu berharga. 

"Oh ini Jang Devan. Muhun, Om inget. Meni beuki kasep ayeuna mah si ujang teh. " Ucapnya kemudian memeluk Devan erat. 

"Nggak kerasa Jang, sekarang Ujang udah gede aja. Udah punya istri lagi. " Ucap Pak Jon sambil melihat ke arahku. 

Eh? 

Pipiku memanas. Aku memalingkan wajah karena tahu pipiku sekarang pasti sudah semerah tomat. 

Devan tertawa kecil mendengar ucapan Pak Jon. "Ini bukan istri saya Om. " Ucapnya meluruskan. 

"Oh bukan istri ya? Maaf Jang saya pikir ini istrinya." Ucap Pak Jon sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Terus kalo bukan istri, ini pasti pacarnya ya? Atau tunangannya? " Tebak Pak Jon kepo. 

Devan dan aku saling tatap. Ia kemudian tersenyum. "Bukan Pak, ini temen saya." Jawab Devan. 

"Oh, temen doang? Maaf yah, abis saya pikir kalian cocok si, makanya saya ngiranya kalian pasangan. " Ucap Pak Jon optimis. 

Devan dan aku tersenyum. "Iya nggak papa kok Om. Maklum lah kalo orang ganteng udah jalan sama orang cantik biasanya suka dijodoh-jodohin gitu. " Devan membuat candaan yang jujur malah menerbangkanku. Bukankah secara tidak langsung ia tengah memujiku?

Aku menghela napas pelan. Harusnya aku tidak Geer seperti ini. 

"Jangan baper Za! Please jangan baper! " —batinku.

Pak Jon terlihat tertawa menyambut candaan Devan. Tak lama kemudian Devan mengutarakan maksudnya datang kemari. 

"Oh, kebetulan kalo gitu. Tadi shubuh, ayahnya bapak kepala sekolah meninggal dunia, sekolah mendadak diliburin. Soalnya semua guru pergi melayat. Saya juga tadi abis dari sana,cuman izin langsung balik lagi kesini buat jaga-jaga di lingkungan sekolah. " Ucap Pak Jon. 

"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un" Ucapku dan Devan bersamaan. 

"Tapi nggak papa kok Jang kalo ujang sama si eneng mau keliling-keliling, silahkan aja. Tapi maaf ni, Om nggak bisa nemenin, soalnya lagi nonton bola, seru banget. " Ucap Pak Jon. 

"Eh iya Om santai aja, nggak papa kok. Devan juga masih inget jalan kok. " Ucap Devan. 

Kami kemudian menelusuri tiap jejak bangunan ini. Bangunan yang kini sudah agak asing karena banyak renovasi. Ada taman baru dan lapangan baru di bagian belakang sekolah. Sekolah ini sekarang sudah benar-benar melaksanakan konsep green school. Sekolah ini jadi semakin cantik dan asri. Jujur aku betah berada disini, terlebih saat ini aku bersama Devan. 

"Eh Za, kita ke Mesjidnya yuk! " Ajak Devan padaku. 

Aku tersenyum melihat mesjid sekolah yang kini berdiri megah menyambut sekitar seribu siswa sebagai jama'ahnya. Musholla kecil yang dulu sering bocor kini telah menjelma menjadi sebuah bangunan cantik yang sarat akan makna. Aku tersenyum bahagia. Rasanya aku kembali ke masa dimana untuk pertama kalinya aku jatuh cinta pada Devan. Meski kini, bangunan mushola, saksi bisu kejadian sajadah itu sudah terganti dengan bangunan lain, namun bagiku hal itu tidak mengurangi romansa yang ku rasakan. Meskipun mungkin saat ini hanya aku yang merasakan romansa itu. 

Devan berhenti di dekat jendela mesjid. Aku menghampirinya yang tengah terdiam sambil tersenyum melihat ke luar jendela. Devan yang menyadari kehadiranku membuka suara. 

"Lo tau Za, mesjid ini, saksi bisu kisah cinta terindah gue. " Ucap Devan tiba-tiba memulai cerita. 

Sungguh? Aku sangat antusias mendengarnya. Meskipun aku akan merasa sakit karena Devan akan menceritakan wanita lain yang kisah cintanya terjalin di bangunan ini bersamanya. Entah kebetulan atau apa, namun mesjid ini juga adalah saksi bisu kisah cintaku dulu. Kisah cinta yang selalu ku anggap indah meskipun aku tahu cinta itu bertepuk sebelah tangan. Kisah cinta yang selalu ku impikan dan kuharap suatu hari dapat terwujud. 

"Dulu gue pernah ketemu sama cewek disini. " Ucap Devan melanjutkan kisahnya. "Dan gue jatuh cinta sama dia." Devan tersenyum mengenang indahnya kisah mereka. "Dia cewek yang polos, tapi baik banget. Diam-diam gue suka dengerin dia waktu lagi ngobrol sama temen-temennya di beranda mushola dulu. Dia suka ngasi motivasi hijrah, bicarain soal kebaikan Allah sama kita, dan jujur semua itu bikin gue luluh. " 

Ngobrol di beranda mushola? 

"Gue seneng banget liat dia sholat. Sholatnya santai banget. Bahkan kalau dibilang, empat rakaat sholat gue itu sama dengan dua rakaat sholatnya dia. Terus sehabis sholat dia biasanya duduk dulu dan dzikir, habis itu dia sujud lagi, keknya si berdoa gitu. Itu si kebiasaan dia yang gue inget sampe sekarang."

Semua kebiasaan itu.. 

"Terus gue juga inget cara dia ngelipet sajadah. Dia biasanya ngelipet tiga kali, terus dia lipet lebih kecil supaya masuk ke tas mukenanya. "

Bukankah.. 

"Apalagi dia orangnya natural banget. Nggak suka banyak dandan, nggak banyak interaksi sama cowok juga. Pokoknya buat gue dia cewek terbaik yang pernah gue temui setelah Bunda. "

Mungkinkah? 

"Cuman sayang gue udah lama nggak ketemu sama dia. Gue bahkan nggak pernah tau lagi gimana keadaan dia. " Ucap Devan dengan wajah kecewa. 

Aku terkelu mengingat baik-baik semua ciri-cjri yang Devan sebutkan. Aku yakin aku sangat mengenal orang yang ia maksud. Aku yakin orang itu adalah orang yang ku kenal. 

"Nama dia siapa Kak? " Tanyaku penasaran. 

Devan mengehela napas berat. "Itu dia Za, gue nggak pernah tau namanya siapa. Gue bahkan nggak berani buat nanya atau sekedar nyari tau. Gue liat dia agak jutek si sama beberpa cowok. Makanya gue takut dia iil feel sama gue. 

" Cuman jujur sekarang gue nyesel nggak pernah tau nama dia. Sekarang gue kepisah sama dia dan entah akan nemuin dia dimana. Cuman satu yang gue yakin, gue udah jatuh cinta sama orang yang tepat, dan seandainya Allah ngasi kesempatan gue buat ketemu lagi sama dia, gue bener-bener mau perjuangin dia. " Ucap Devan penuh keseriusan.

Hatiku rasanya terjatuh. Semakin jatuh dan semakin dalam, entah dimana akhir dari keterjatuhan itu. 

"Tapi Za, menurut lo, gue bodoh nggak si berharap sama cewek sebaik dia? " Ucap Devan meminta pendapatku. 

"Kenapa kakak harus ngerasa bodoh? Lagipula kak, menurutku rasa cinta itu adalah suatu ketidakterdugaan, dan kadang terkesan seperti pemaksaan. Kita nggak pernah berharap jatuh cinta sama seseorang, tapi ketika hati kita memilih satu subjek, mau nggak mau kita harus mengikuti kata hati kita. Seberapa besarpun usaha kita untuk berhenti jatuh cinta, kalau Allah masih menghendaki perasaan itu ada, aku yakin rasa itu nggak akan pergi. " Ucapku mengutarakan segala yang selama ini membenam di dasar hatiku. 

Devan tersenyum tipis. "Lo bener juga si Za. Mungkin sekarang gue harus lebih mendekatkan diri ke Allah supaya gue bisa ngontrol dan mastiin perasaan ini tetep pada dosis yang tepat. " Ucap Devan kemudian. "Oh ya, lo do'ain gue ya, supaya gue bisa secepetnya ketemu lagi sama dia. " Ucap Devan meminta padaku. 

Deg!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nadi yang Disangka Alibi

Tuan Muda Dari Negeri Renta

Selamat 31 Tahun A IQBAL