LTSI Arca2


Seindah alasan yang bahkan Tuhan sendiri tak pernah mengutarakannya padaku. Tentang mengapa aku harus jatuh cinta padamu. Sedang keindahan dari alasan yang tidak ku ketahui itu, selama ini ku yakini adanya, dari indahnya segala hal yang Tuhan anugerahkan pada dirimu

...Adzalia Rumaisha... 

Aku pernah mendengar seseorang berkata; Jika suatu saat kita merasakan jatuh cinta, namun pada suatu masa tertentu kita merasa bosan dengan rasa itu—merasa ada yang berkurang atau bahkan menghilang, maka jangan sebut itu sebagai cinta sejati. Sebab cinta sejati tak akan pernah pudar dan menghilang. Cinta itulah yang akan abadi dan hidup tanpa memandang apapun sebagai alasan. 

Bertahun-tahun lalu, aku pernah merasakan hal berbeda pada seorang pria yang awalnya begitu asing bagiku. Hanya beberapa kali aku menemuinya secara tak sengaja saat istirahat pertama di sekolah waktu MTs dulu. Dia rajin sholat dhuha, sementara aku hanya sesekali datang untuk sholat dhuha, itupun jika diajak oleh Asma, teman sebangkuku. 

Pria itu, yang pernah dengan tulus meminjamkanku sajadah untuk sholat. Waktu itu, saat mushola sekolah kami bocor dan terjadi hujan yang cukup deras hingga hampir separuh musholla basah terkena air hujan. Tak ada sajadah yang digelar. Petugas musholla segera membawa semua sajadah yang kebetulan baru dibeli. Alhasil, semua siswa yang tidak membawa sajadah sendiri harus sholat tanpa alas di atas lantai yang dingin di bagian lain musholla yang tidak terkena hujan. 

Beruntung karena hari itu aku bertemu dengannya. Dengan uluran tangannya, ia memberikan sajadah bercorak keemasan kepadaku sambil berkata;

"Ini, untuk kamu sholat" Ucapnya dengan senyuman. 

Aku yang terpaku perlahan menyambut uluran tangannya. Ia segera pergi setelah aku mengambil sajadahnya. 

Sejak detik itu, ada rasa berbeda. Ada perasaan lain yang tak dapat ku jelaskan. Dan bertahun-tahun rasa itu bersemayam di  dasar hatiku. Enggan pergi meski hanya sehari saja. Sejujurnya aku tak mengerti. Aku tak pernah merasakan perasaan sedalam ini, seserius ini dan sekuat ini pada pria manapun. 

Satu tahun aku bertahan dengan perasaan yang sama. Saat menjelang kelulusannya dari MTs kami empat tahun lalu. Aku terus mencoba menyadarkan diri tentang siapa dia dan siapa aku. Berusaha memberi tahu pada diriku sendiri bahwa selama ini dia tak pernah tahu tentang perasaanku. Dan jika pun ia tahu, entah dia akan peduli atau bahkan tidak sama sekali. 


Setelah kelulusannya, sesekali ia menyempatkan diri mengunjungi MTs kami. Aku masih kelas sembilan saat ia sudah mengenakan seragam putih abu-abu. Beberapa kali aku masih bisa melihatnya. Namun, selepas hari kelulusanku di tahun berikutnya, aku sama sekali belum pernah melihatnya lagi meskipun hanya sekali.

Tiga tahun berlalu begitu saja. Tanpa pernah aku menemuinya lagi, tanpa pernah aku mengetahui kabarnya lagi. Namun rasa itu masih utuh. Tak sama sekali berubah. Tak sedikitpun berkurang. Aku masih gadis yang sama, dengan perasaan yang sama, untuk orang yang sama. 

Aku, masih menyimpan rasa itu. Memeluknya erat meski tanpa alasan, tanpa tahu mengapa dan untuk apa semua itu ku lakukan. Dan aku tak peduli. Aku hanya tahu bahwa aku mencintainya. Dan itu sudah cukup bagiku untuk saat ini. 

•••

Jam istirahat kampus. Aku menyempatkan diri untuk pergi ke musholla dan melaksanakan shalat sunnah dhuha. Meski, tidak setiap hari ku lakukan, namun minimal sesekali aku masih menyempatkan diri untuk melaksanakan shalat sunnah ini. 

Selesai sholat dhuha, aku keluar dari musholla hendak memakai sepatu. Dari balik jendela ku lihat seseorang tengah duduk di teras sambil memainkan ponsel. Orang tersebut duduk tepat di samping sepatuku. Aku mengenalnya, dia adalah Pak Ammar. Dosen muda dan tampan yang menjadi incaran setiap mahasiswi di kampus ini. Bahkan beberapa dosen senior ada yang berminat menjodohkannya dengan putri mereka. 

Aku melangkahkan kaki keluar. Jujur aku sangat canggung pada Pak Ammar. Selain terkenal tampan dan kharismatik, ia juga dikenal dingin pada perempuan. Aku takut mengganggunya yang terlihat tengah sibuk dengan ponsel ditangannya. 

Beberapa saat aku hanya berdiri mematung tak jauh di belakangnya. Tiba-tiba, Pak Ammar berbalik melirikku. Ia yang menyadari kehadiranku terlihat dingin dan tak peduli, lantas ia kembali keposisinya semula. 

Aku melangkahkan kaki perlahan. "Ekhem.. " Aku mendeham pelan. "Pak, maaf, " Ucapku agak ragu. 

Pak Ammar mengalihkan pandangannya padaku. "Kenapa? " Tanya Pak Ammar dengan nada datar. 

"Saya mau ngambil sepatu. " Ucapku sambil melirik ke arah sepatuku. 

Pak Ammar yang menyadari kehadiran sepatuku di samping kakinya segera mempersilakanku untuk mengambilnya. Dengan segera aku mengambil sepasang sepatu kets berwarna abu-abu milikku itu dan duduk agak jauh dari Pak Ammar. 

Tanpa ku sadari, sepasang mata Pak Ammar mengarah padaku. "Kamu habis sholat dhuha? " Ucapnya. 

Aku yang terlanjur canggung merasa bingung. Apakah ia bertanya padaku? Aku memandang ke sekelilingku. Tak ada orang selain aku dan Pak Ammar disini. 

"Saya nanya sama kamu" Ucap Pak Ammar mempertegas pertanyaannya. 

"Eh, i-iya Pak. Saya abis sholat dhuha." Ucapku malu. 

Pak Ammar tak merespon apapun lagi. Ia kembali sibuk dengan ponselnya. 

Selesai mengenakan sepatu, aku mencoba mengatakan sesuatu untuk berpamitan pada Pak Ammar. Pria berusia 26 tahun itu terlihat masih fokus pada benda pipih di genggamannya. 

"Um.. Pak? " Ucapku memberanikan diri. 

"Hmm? " Pak Ammar tak sedikitpun mengalihkan pandangannya. 

"Saya, izin pergi duluan ya" Ucapku. 

Pak Ammar mengangguk pelan mempersilakan ku pergi. Aku segera pergi menjauh dari makhluk bermata tajam itu.

Kakiku mengarah ke taman kampus tak jauh dari musholla. Rencananya aku ingin melanjutkan menulis cerita untuk novel ke empatku yang ditargetkan terbit tahun ini. Di taman kampus, terlihat sebuah bangku kosong. Aku segera memilih bangku itu untuk duduk dan memulai kegiatanku. 

Dari bangku ini, sosok Pak Ammar masih dapat ku lihat. Ia terlihat masih dengan kesibukan yang sama. 

Aku membuka laptopku dan mulai merangkai kata-kata. Ide lamaku yang sebenarnya sudah sangat ingin ku tuangkan dalam tulisan sejak dulu. Tentang seorang perempuan yang jatuh cinta dan menyimpan perasaan yang sama selama bertahun-tahun. 

Aku tahu, sebenarnya saat ini aku tengah menceritakan kisahku sendiri. Kisah seorang gadis polos yang baru kemarin sore mengenal cinta. Dan tiba-tiba, tanpa aba-aba, perasaan itu membawanya jauh. Jauh tak terhingga. Hingga gadis itu terlampau nyaman di rantaunya dan tak mau pulang. Ia memutuskan untuk menetap meski masih belum mendapat izin dari sang Tuan Rumah. 

Lambat laun, rasa nyaman itu goyah. Ia tak sepenuhnya merasa aman sebab sang tuan rumah masih belum memberinya izin. Gadis itu berharap dapat meminta izin kepada sang Tuan Rumah, detik itu juga. Namun, bisakah? Mengingat ia sendiri tidak tahu dimana keberadaan sang tuan rumah. Tak tahu dimana ia bisa menemuinya. Bahkan jika suatu saat ia berhasil menemuinya, ia tak tahu akan mendapat izin atau tidak. 

Perlahan, aku tenggelam dalam tulisanku sendiri. Mendalami peran sebagai gadis di ceritaku. Seorang gadis yang kebingungan dan tengah berusaha mempertahankan rasa nyaman yang ia miliki. 

Tiba-tiba, fokusku teralih saat ku sadari, sebuah tatapan tengah mengarah padaku. Aku tak yakin, namun kemudian aku mencoba mengangkat kepalaku dan mengarahkan pandanganku menuju pemilik sepasang bola mata itu. Dan tiba-tiba tatapan kami bertemu. Sejenak, kemudian pemilik tatapan itu menundukkan kepala. Tak lama kemudian ia pergi. 

Aku mengerutkan dahi tak mengerti. Apa mungkin itu hanya tatapan biasa? Atau sebuah tatapan yang memiliki arti? 


#limatahunsetelahitu #kata_nazwa

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nadi yang Disangka Alibi

Tuan Muda Dari Negeri Renta

Selamat 31 Tahun A IQBAL