LTSI Arca4
Devandra Rafshand Maharendra.
Satu nama yang tertulis di bawah kotak rahasiaku. Sebuah kotak berisi jurnal harian yang ku buat sejak dua tahun lalu, juga diary yang setia menjadi tempat curhatku.
Nama itu yang pernah memberikan goresan warna lain di kertas putihku. Nama yang telah lima tahun ini menghilang dan tak lagi pernah ku temui. Namun demikian, rasa untuknya tak pernah hilang. Tidak meski hanya sedikit.
Meski jujur, ada banyak lelaki yang lebih dari segi apapun dibanding dengannya—yang ku temui dalam jangka lima tahun ini. Ada banyak alasan bagiku untuk jatuh cinta padanya. Namun di sisi lain aku juga sadar bahwa sebenarnya begitu banyak alasan yang kumiliki untuk berhenti mencintainya.
Devan pernah memiliki pacar, dan pacarnya itu adalah kakak kelasnya. Beberapa kali aku pernah melihatnya membonceng teman sekolahnya dengan motor. Tak cukup sampai disitu, aku juga pernah melihatnya dipeluk di atas motor oleh seorang perempuan yang ia bonceng. Devan juga dikenal beberapa kali gonta-ganti pacar.
Sejujurnya, terkadang aku menanyakan apa alasanku mencintainya selama ini. Tampan? Pintar? Terkenal? Semua itu bukan kualifikasi utamaku.
Ayah!
Aku ingin memiliki pasangan seperti ayah. Sosok laki-laki yang sangat menghormati perempuan. Setia, dan tak pernah sembarangan urusan hubungan. Ayahku, sosok laki-laki sederhana, tak banyak bicara, namun begitu dihormati dimasyarakat. Bisakah Devan menjadi seperti ayah?
Aku menghela napas berat. Aku tak mengerti kenapa hingga detik ini bayangan Devan masih setia dibenakku. Bukankah selama ini ada begitu banyak pria lain yang ku kenal dan ku temui? Aku benar-benar tak mengerti dengan diriku sendiri.
"Za? " Panggil seseorang dibelakangku.
Reflek, aku melihat ke arah orang tersebut.
Pak Ammar?
"Boleh saya duduk di sini? " Tanya Pak Ammar sambil melihat ke arah kursi kosong di sampingku.
Aku tersenyum sebagai jawaban "ya".
Pak Ammar kemudian mendudukkan diri di sampingku. Taman kampus sedang agak sepi. Mungkin karena sore ini sebagian besar Mahasiswa dan dosen sudah pulang. Sebagian lagi mungkin masih di kelas. Aku jadi tidak terlalu khawatir akan menjadi bahan omongan orang.
" Za? " Ucap Pak Ammar.
"Iya Pak? " Jawabku agak canggung.
Ia terlihat mengeluarkan buku kecil dan pena dari saku kemejanya. "Bisa tulis alamat lengkap rumah kamu disini? " Tanya Pak Ammar.
Alamat lengkap? Untuk apa ia menanyakannya padaku?
"Maaf, buat apa ya Pak? " Tanyaku.
Pak Ammar menghela napas pelan. "Saya mau menemui kebahagiaan yang selama ini saya cari. " Ucapnya yakin.
Aku mengernyitkan dahi tak mengerti. "M-maksud bapak?" Tanyaku.
Pak Ammar tersenyum tipis. "Saya mau ketemu sama orang yang udah ngajarin kamu untuk menjadi seorang muslimah yang baik. "
"Maksud bapak, orang tua saya?"
Pak Ammar mengangguk sambil tersenyum. Jujur, aku tak pernah melihatnya sesantai dan seramah ini. Biasanya aku selalu tegang saat ada di dekatnya. Selalu takut dan canggung untuk bicara. Namun kali ini berbeda.
"Saya mau minta izin sama Ayah kamu untuk menjadikan kamu sebagai bagian penting dari hidup saya. " Ucapnya kemudian.
Deg!
Jantungku berdegup kencang. Aku tak percaya akan bertemu dengan dengan keadaan seperti ini.
Aku tak percaya jika harus menyakiti hati Pak Ammar. Dia adalah dosen favoritku. Bahkan meski ia pernah menghukumku mencuci bendera merah putih di lapangan kampus saat masih Mahasiswi baru dulu. Aku benar-benar tak ingin menyakitinya.
"Boleh Za? " Tanya Pak Ammar tiba-tiba memecahkan lamunanku.
"Hm.. Bapak yakin? " Tanyaku memastikan.
"Maksudnya? " Tanya Pak Ammar.
"Bapak, yakin sama saya? "
Pak Ammar mengangguk pasti.
"Kenapa bapak yakin sama saya? " Tanyaku.
Pak Ammar menunduk sekilas. Ia kemudian menatapku.
"Kamu tahu Za? Pesan terakhir dari almarhum ayah saya sebelum beliau meninggal saat saya kelas empat SD dulu. Beliau berpesan supaya suatu saat, jika saya mau mencari pasangan hidup, yang pertama harus saya lihat adalah shalatnya. Jika shalatnya baik, maka seluruh hidupnya juga baik. Namun jika shalatnya kurang baik, maka jangan harap hidupnya baik." Ucap Pak Ammar yang terdengar begitu selektif memiliki kata.
"Saat pertama melihat kamu menjadi imam shalat isya untuk Mahasiswi yang sedang mengerjakan tugas tambahan dari saya satu tahun lalu, jujur saya sudah jatuh cinta sama kamu. Melihat gerakan shalat kamu, mendengar kefasihan bacaan kamu, saya sudah yakin bahwa kamu yang selama ini saya cari. Terlebih setelah saya tahu bahwa ternyata kamu juga lulusan pesantren tahfiz. Saya menjadi semakin yakin. " Ucapnya mengutarakan perasaan.
Aku tertegun. Pak Ammar adalah laki-laki pertama yang mengutarakan hal seindah itu. Seseorang yang mencintaiku karena shalat yang ku laksanakan. Hari ini, tepat hari Jum'at, hari yang selalu ku sukai, seseorang telah mengetuk suatu pintu di ruang terkhususku. Sebuah pintu yang selama bertahun-tahun terkunci dan belum ada yang bisa memasukinya selain Devandra. Hari ini, seseorang yang selama ini telah menunggu di ruang tamuku, datang mengetuk pintu itu dan mungkin hendak memasukinya.
#bacaananakmuda#remaja
Komentar
Posting Komentar