LTSI Arca5

    Aku berjalan sendirian di trotoar. Jalanan sepi, tak banyak kendaraan lewat. 

    Sore ini, aku masih memikirkan setiap kata yang Pak Ammar ucapkan padaku beberapa hari lalu. Aku punya kesempatan besar untuk mengubah diriku menjadi lebih baik, —bersama Pak Ammar tentunya—sosok laki-laki yang akan menuntunku. 

    Bertahun-tahun aku berharap mendapatkan seorang pendamping yang baik agamanya, baik akhlaknya, seseorang yang setia dan bisa membahagiakanku di dunia juga di akhirat. 

    Selama ini aku tidak pernah tahu bahwa ternyata Pak Ammar adalah mantan santri yang sudah mengenal dunia pesantren sejak kelas tujuh. Ia tak pernah menampakkan diri sebagai seorang pria yang fasih dalam masalah agama. Baru kemarin aku tahu bahwa ternyata keilmuannya sudah sangat tinggi.

    Pak Ammar, ternyata juga seorang penghafal Al-Qur'an. Ia hafal lanjutan dari setiap ayat yang ku bacakan. Ia pintar memasak dan mandiri. Jika menurut pada logika, aku sangat ingin menekan diriku sendiri untuk mengatakan "Hal apa lagi yang kurang dari diri Pak Ammar? " Aku ingin merasa cukup dengan diberikannya Pak Ammar oleh Allah padaku. Meskipun aku sendiri masih belum bisa memastikan perasaanku pada Devan hingga detik ini. 

    Tiba-tiba, seseorang melemparkan kaleng bekas minuman bersoda ke arahku. Reflek aku melihat ke arah orang yang melakukan hal tak sopan tersebut. Terlihat seorang laki-laki di warung pinggir jalan tak jauh di depanku. Ia terlihat tengah mengobrol dengan temannya yang duduk membelakangiku. Aku segera memungut kaleng tersebut dan membawanya ke arah pria tadi. 

    Aku heran kenapa dia melempar sampahnya sembarangan, padahal tak jauh darinya ada sebuah tempat sampah. Aku berjalan menuju warung tersebut. Tepat di hadapan pria tadi, aku melempar kaleng minuman di genggamanku ke tong sampah 

    "Maaf mas, lain kali sampahnya di buang ke sini, disini kan ada tempat sampah. Kenapa harus dilempar sembarangan? " Ucapku sambil menunjuk ke arah tong sampah. 

    Pria dihadapanku hanya tersenyum. "Maksud Mbak, kaleng minuman itu? " Tanya pria tersebut. 

    Aku menganggukmengangguk memberi jawaban. 

    "Itu bukan punya saya Mbak, itu punya dia. " Ucapnya sambil menunjuk ke arah pria di hadapannya yang tengah asyik menghisap rokok. 

   Aku segera mengalihkan pandangan ke arah orang yang ada di hadapan pria tadi. Sejenak aku terdiam. Lidahku terkelu. Entah aku hendak mengatakan apa. Entah aku hendak melakukan apa. Namun yang ku sadar, betapa bodohnya aku yang sedari tadi tidak menyadari bahwa ternyata sosok pria yang melempar kaleng minuman bersoda ke arahku itu adalah orang yang telah lima tahun ini menghilang dari hidupku. 

•••

    Dengan santai, Devan menyesap rokok yang ada di tangannya. Ia kemudian menghembuskan asap rokok hingga membuatku sedikit batuk. Ia tersenyum ke arahku. 

    "Sorry Mbak, nggak sengaja, kirai nggak ada orang. " Ucapnya dengan wajah innocent. 

    Benarkah ini Devan? Devandra Rafshand Maharendra? Dia yang dulu dikenal sebagai murid baik-baik, yang di cintai semua guru karena prestasinya, yang rajin shalat dhuha (meskipun suka gonta-ganti pacar), dia yang rajin berjamaah ke mesjid? 

    Aku terdiam dan menatap wajah di hadapanku. Aku tidak salah. Gurat wajah itu yang selalu ku rindukan selama bertahun-tahun. Hari ini, detik ini, ia kembali menampakkan diri di hadapanku, dalam keadaan yang sejujurnya—sama sekali tak pernah ku harapkan. 

    Aku pergi meninggalkan dua pria yang ada di hadapanku. Aku tahu, selama ini Devan tidak pernah tahu tentangku. Meskipun bertahun-tahun aku menyimpan rasa untuknya, namun tidak sedikitpun aku berani menampakkan semua itu di hadapannya. Saat ini mungkin ia sudah lupa padaku. Tak ingat barang sedikitpun mengenaiku. 

    Aku pergi dengan hati yang saat ini entah bagaimana keadaannya. Retak? Hancur? Berantakan? Aku tak tahu! 

    Bertahun-tahun aku berharap bisa kembali menemuinya. Dan jujur, selama ini aku membayangkan bahwa saat bertemu dengan Devan akan menjadi suatu waktu yang indah di hidupku. Namun hari ini, semua terjadi, dan semua itu sungguh jauh dari kata indah. Aku benar-benar kecewa melihat penampilannya, dan semua hal yang ia lakukan. Padahal sebelumnya ku kira, hari ini ia akan gagah berdiri menjadi seorang polisi, seperti cita-cita yang pernah ia sebutkan di hadapan tim jurnalis sekolah dulu. 

    Aku tak menyangka dengan segala hal yang ku kulihat hari ini. Dan entah, mungkinkah ini jawaban bagiku untuk semakin yakin dan menerima Pak Ammar? 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nadi yang Disangka Alibi

Tuan Muda Dari Negeri Renta

Selamat 31 Tahun A IQBAL